Cara Kesatria
Selama dua hari publik disuguhi kejadian yang merugikan rakyat Indonesia, yakni kerusuhan di sejumlah titik wilayah Jakarta. Kerugian bukan hanya dari korban nyawa saja, tapi juga ada kerugian ekonomi bagi sebagian masyarakat Jakarta yang wilayahnya terdampak kerusuhan.
Dari segi jumlah korban jiwa, beberapa nyawa melayang akibat kerusuhan tersebut dan ratusan orang lainnya terluka. Fenomena ini semakin mencoreng pertumbuhan demokrasi yang dialami Indonesia sejak bergulirnya era reformasi.
Kedewasaan elit politik dalam menyikapi hasil pemilihan umum presiden juga dituntut berbuah positif. Menerima hasil pengumuman penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi salah satu jalannya. Jika tidak terima, gunakan ruang konstitusional dengan mengajukan permohonan sengketa pemilu presiden ke Mahkamah Konstitusi.
Bukan malah sebaliknya mendukung aksi yang notabene tidak akan bisa mengubah pengumuman penghitungan suara yang telah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Elit politik harus bisa meminta pendukungnya untuk tenang dan tidak anarkis. Elit juga harus bisa mencegah terjadinya aksi sehingga menutup peluang dapat ditunggangi kelompok lain yang menginginkan terjadinya kerusuhan.
Elit politik yang keberatan dengan hasil pemilu lebih baik fokus dengan bukti-bukti yang disiapkan agar gugatannya dapat diterima. Hadirkan bukti-bukti valid sehingga meyakinkan Majelis Hakim Konstitusi dalam menilai permohonan yang diajukan adalah bukan bukti yang bisa dibantahkan dengan mudah.
Dari rekapitulasi hasil akhir penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum, pasangan Joko Widodo-Maruf Amin meraih 55,50 persen atau 85.607.362 suara. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh 44,50 persen atau 68.650.239 suara. Hampir 17 juta suara selisih kedua pasangan capres-cawapres tersebut. Jumlah itu pula yang harus dibuktikan oleh Prabowo-Sandi agar bisa memenangkan kontestasi.
Elit politik jangan sampai malah terlena dengan narasi yang dibangun yakni menggerakkan massa yang ujungnya sudah ketahuan jawabannya, bahwa hasil pemilu tidak bisa diubah hanya melalui cara-cara demonstrasi. Meskipun menyampaikan aspirasi adalah hak setiap orang yang dijamin konstitusi, namun cara tersebut dapat membuka peluang bagi kelompok lain yang ingin terjadinya kerusuhan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pemandangan selama dua hari yang disuguhi ke publik. Alhasil, aparat Kepolisian telah menetapkan 257 orang sebagai tersangka kerusuhan. Modus dan motif kerusuhan terus didalami, bahkan dugaan kerusuhan ditunggangi semakin kuat dengan adanya orang-orang yang dibayar kelompok tertentu agar tindakan anarkis semakin meluas.
Bagi aparat Kepolisian, harus segera mengungkap siapa dalang di balik kerusuhan dua hari ini. Bila perlu, pengungkapan dilakukan hingga ke akarnya. Hal ini penting untuk menimbulkan rasa aman bagi masyarakat Indonesia.
Pengungkapan dalang kerusuhan 22 Mei 2019 jangan sampai berlarut-larut seperti kejadian kerusuhan tahun 1998 silam atau peristiwa yang mengoyak hak asasi manusia masyarakat Indonesia lainnya yang belum terungkap hingga saat ini.
Para elit politik harus memberi contoh dengan bersalaman di hadapan publik, bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia adalah nomor satu. Kedua kubu harus bersatu demi bangsa tercinta dan buang ego masing-masing. Seperti peribahasa bilang, “menang jangan jumawa, kalah harus legawa”.
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua